SUNGAI Citarum semakin “muram” bahkan “menangis” meratapi keadaannya yang semakin parah. Sungai terpanjang di Jawa Barat ini merupakan sumber air minum bagi DKI Jakarta, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Tetapi, fungsi yang pernah disandang Citarum kini berubah. Hampir di semua lokasi di Bantaran Sungai Citarum ditetapkan dengan status air tercemar berat. Dari empat skala pencemaran (A,B,C, dan D), status pencemaran sudah mencapai angka paling berat alias “beracun”.
Hal tersebut tak dapat dimungkiri, secara fisik pun dapat dilihat kondisi Citarum yang tercemar. “Dulunya jernih, ini mah karena ada limbah dari pabrik-pabrik di Majalaya,” tutur Sam (25), penduduk Desa Mekarsari, Baleendah. Sungai yang mempunyai luas seluruhnya 6.080 km2 dan panjang sungai 269 km ini mempunyai kualitas air berkelas IV, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pertamanan atau pengairan. “Kalau sudah sampai kelas IV, ya jangan diminum. Air pada kelas IV hanya boleh dilakukan untuk pertamanan,” ucap Setiawan.
Dengan status tercemar berat dan kualitas air yang sangat rendah, Citarum tak dapat lagi berfungsi sebagai sumber mata air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Dari segi kesehatan, cemaran logam berat dapat membahayakan kehidupan warga yang tinggal di sekitarnya. Dalam pengujian yang dilakukan BPLHD Jabar sebanyak tiga kali dalam setahun, ditemukan kandungan nitrit (NO2), timbal (Pb), klorin (Cl), fosfat (PO4), seng (Zn), boron (B), tembaga (Cu), dan sulfat (SO4) yang melebihi ambang batas. Keracunan nitrit dapat mengakibatkan methemoglobinema atau penyakit baby blue yang rentan menyerang bayi berumur kurang dari empat bulan. “Kalau kandungan logam berat, pasti berbahaya untuk makhluk hidup, bisa berakibat sangat fatal,” lanjut Setiawan. Selain itu, ditemukan juga bakteri koli dalam jumlah besar. Keberadaan bakteri itu menunjukkan air telah tercemar kotoran makhluk hidup. “Kandungan koli yang paling besar itu dapat menyebabkan sakit perut,” tutur Atih Witartih, Kepala Subdinas Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung.
Tingkat kerusakan Sungai Citarum sudah mencapai taraf sangat parah. Walaupun airnya masih berwarna cokelat, belum hitam, tetap saja air sungai itu tidak dapat dimanfaatkan oleh warga. “Kita ini jangan jadi bangsa yang kagetan, padahal setiap tahun mengalami masalah yang sama. Jangan kaget kalau banjir lagi atau kekurangan air lagi, toh setiap tahun pasti mengalami hal yang sama. Pencemaran air sungai itu akibat ulah manusia, jadi jangan kaget kalau kebanjiran, kekeringan, dan terserang wabah penyakit,” tutur Otto Soemarwoto, pakar ekologi Indonesia.
Keadaan berbahaya itu pun tidak diindahkan warga walaupun peringatan selalu diberikan oleh pihak yang berwenang. Kita selalu menyosialisasikan bahaya Citarum kepada masyarakat,” ucap Setiawan. Peringatan tersebut cenderung tidak digubris oleh masyarakat. “Saya mah jaring ikan kaya gini udah dari kecil. Tidak pernah ada keluhan, sudah biasalah,” ucap Opik (30), di tengah kesibukannya menjaring ikan. Tidak adanya keluhan dari warga membuat Dinas Kesehatan beranggapan bahwa Citarum baik-baik saja. “Hingga sejauh ini belum pernah ada laporan mengenai adanya gangguan kesehatan dengan taraf parah yang diderita warga yang tinggal di sekitar Citarum,” ungkap Budi Satrya, S.Km., staf di bagian tempat-tempat umum dan industri Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat.
Citarum yang mempunyai potensi sebagai sumber irigasi bagi 300.000 ha tanah pertanian mulai tercemar pada tahun 1986, saat tumbuh banyak industri di sekitar bantaran Sungai Citarum. “Adanya industri pasti ada turunannya, seperti adanya permukiman, apartemen, dan segala macam itu pun semua sebenarnya ikut menyumbang limbah di Sungai Citarum,” tutur Setiawan. Tak hanya itu, perubahan tata guna lahan, erosi, sedimentasi, banjir, pemompaan pada air tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh pabrik-pabrik juga menjadi satu mata rantai permasalahan Sungai Citarum. “Pabrik dalam hal ini sangat berperan dalam mencemari air sungai, bahan kimia yang mereka pakai tidak pernah diketahui kadar idealnya seberapa banyak. Kebanyakan dari mereka, memakai bahan kimia yang berlebihan,” tutur Otto.
Dari penelitian yang dilakukan BPLHD, logam berat yang di kandung oleh Citarum memang berasal dari pembuangan limbah oleh pabrik-pabrik nakal, yang menidurkan IPAL (instalasi pengelolaan air limbah) mereka dan memilih membuang limbah langsung ke Citarum. Bukan tanpa alasan hal itu dilakukan oleh pabrik-pabrik. Pengolahan limbah mahal dan memerlukan banyak biaya. “Kalau ada inspeksi, IPAL mereka hidupkan, kalau tidak, ya dimatikan. Biasanya, malam-malam mereka buang, ketika secara visual, orang tidak tahu,” ucap Setiawan.
Bagi pelaku-pelaku yang terbukti melanggar hukum lingkungan ini tentu saja akan diperkarakan secara hukum. “Untuk sampai sebuah pidana dalam hukum lingkungan, itu sudah luar biasa. Karena itu kan perlu bukti-bukti, dan susah untuk mencari bukti-bukti tersebut,” ujar Setiawan. Sebelum sampai pada tahap diajukan ke pengadilan, pabrik yang terbukti melanggar sebelumnya telah diberikan pengawasan dan pembinaan.
Mekanisme pengajuan pelanggaran yang dilakukan oleh pabrik nakal akan dilakukan apabila PPLH (Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup) yang mengawasi pabrik-pabrik tersebut menemukan bukti-bukti yang cukup. Kemudian dari hasil temuan, PPLH meminta PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) atau pihak kepolisian melakukan penagkapan terhadap pihak yang melakukan kejahatan lingkungan tersebut.
Tidak semua pabrik melakukan hal tersebut. Salah satu pabrik yang benar-benar menerapkan IPAL-nya adalah PT Daliatex di Dayeuhkolot. Pabrik yang memproduksi kain jenis georgette ini telah mengelola sendiri limbah cair hasil proses produksinya sejak 1999 yang sebelumnya bergabung dengan IPAL terpadu di Cisirung. “Demi alasan keefektifan, akhirnya kami memilih untuk mengelola sendiri,” ungkap staf keselamatan lingkungan PT Daliatex, Rahmat.
Jumlah industri di wilayah Kab. Bandung yang berpotensi mengeluarkan limbah 144 pabrik yang semuanya telah memiliki IPAL. Pabrik tersebut kebanyakan pabrik tekstil. Dari jumlah tersebut 27 pabrik di antaranya berada di Dayeuhkolot yang pengolahan limbahnya dilakukan IPAL Raksasa Cisirung. Sedangkan jumlah pabrik di wilayah Bandung Barat yang berpotensi mengeluarkan limbah 47 pabrik.
Untuk mengantisipasi agar Sungai Citarum tidak tercemar berat, pemerintah mewajibkan kepada pemilik pabrik untuk mengirimkan laporannya pada waktu tertentu tentang kadar airnya setelah diproses. “Laporan ini sifatnya wajib bagi pemilik pabrik yang harus dilaporkan 1 bulan sekali,” kata Indra Martono, Plt. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung.
Limbah yang mencemari sungai tersebut terdiri atas limbah industri dan limbah domestik seperti sampah. Dari hasil pemantauan di lapangan, justru yang terbesar adalah sampah yang memadati sungai tersebut.
Volume sampah yang mencemari anak sungai tersebut sekitar 70%, kemudian industri 16%, pertanian 2 % dan sisanya adalah peternakan.
Karena kondisinya seperti itu, pemerintah pun memprioritaskan bagaimana menanggulangi agar volume sampah bisa ditekan. Sampah yang berupa fisik ini cukup berbahaya bagi keberadaan Sungai Citarum. Jika dibiarkan tentu lingkungan di sepanjang Sungai Citarum akan rusak yang akan berdampak kepada kehidupan penduduk.
Jenis sampah yang dibuang masyarakat yaitu sampah organik seperti daun, kertas atau benda lain yang bisa cepat terurai. Namun, sampah nonorganik seperti plastik pun cukup mendominasi. Sampah nonorganik inilah yang bisa merusak lingkungan sungai karena sifatnya tidak cepat terurai seperti plastik pembungkus dan botol minuman.
Banjir yang sering terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Bandung, selain karena sedimentasi juga karena sampah nonorganik ini. Sampah itu menumpuk menjadikan aliran sungai menjadi terhambat.
Sistem sanitasi yang buruk menjadi masalah lain yang ikut mendorong limbah citarum. Hal itu dilakukan tak hanya oleh penduduk sekitar Citarum tapi juga penduduk Kota Bandung, umumnya. Dalam pembangunan rumah seharusnya mempunyai IMB (izin mendirikan bangunan), yang salah syaratnya harus mempunyai septic tank (tempat pembuangan). Tapi pada kenyataannya tidak semua penduduk punya itu. “Sampai kapan pun kita juga susah untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Setiawan.
Tata ruang yang tidak jelas juga ikut memperburuk kondisi Citarum. Dulunya daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan sekarang sudah menjadi daerah bangunan. BPLHD mencatat penutupan lahan sebagai lahan permukiman dari tahun 1983 sampai tahun 2002, untuk daerah permukiman naik mencapai 233%, industri naik 868%, sedangkan lahan pertanian menurun 55%. “Jika ingin menyelesaikan masalah Citarum, tidak Citarumnya saja, tetapi juga daerah tangkapan air sekitar Citarum. Hal itu juga memengaruhi,” ungkap Setiawan.
Tak hanya berbahaya untuk lingkungan sekitar dan masyarakat, pencemaran air Citarum juga memicu percepatan sedimentasi waduk. Meningkatnya sedimentasi secara kontinyu dan buruknya mutu air akibat berbagai polutan yang meracuni Citarum. Hal tersebut dapat mengancam kinerja PLTA Saguling yang menjadi andalan pasokan listrik interkoneksi Jawa-Bali. PLTA yang semula dirancang untuk hidup dan menyuplai persediaan energi listrik selama 59 tahun itu hanya akan mampu bertahan selama 45 tahun. Dengan kata lain sisa hidupnya tinggal 23 tahun saja.
Bahkan, jika kondisi terus memburuk, waktu Saguling untuk tutup usia semakin dekat dan mendekatkan Jawa-Madura-Bali pada krisis energi listrik. Saat ini, laju sedimentasi yang mencapai angka 4,2 juta meter kubik per tahun telah melewati ambang batas yang ditetapkan dalam desain PLTA Saguling, yaitu kurang dari 4 juta meter kubik per tahun. “Jadi pendangkalannya lebih cepat dari desain. Sedimentasi 2007 bisa jadi mencapai 84 atau 85 juta meter kubik,” kata Djoni Santoso, Manajer Lingkungan PT Indonesia Power PLTA Saguling.
Bagaimanapun juga Citarum sudah mengalami kondisi yang kritis. Dibutuhkan integritas dan komitmen dari berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam menyembuhkan Citarum.
Pikiran Rakyat, 28 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar