Ada Kelemahan Sistemik
Sabtu, 4 Desember 2010 | 02:50 WIB
Jakarta, Kompas -
Sejumlah temuan itu dipaparkan Wakil Ketua KPK M Jasin dalam konferensi pers bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Jumat (3/12) di Jakarta.
Dalam Kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, KPK menemukan ada ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 32 Tahun 2001, dan Peraturan Menhut Nomor 50 Tahun 2009. Situasi itu, kata Jasin, memungkinkan pelaku pembalakan liar dan penambangan liar lolos dari tuntutan hukum.
Temuan lain, kata Jasin, adalah direduksinya asas prosedur yang fair dalam penunjukan kawasan hutan pada aturan pelaksanaan UU No 41/1999 sehingga melemahkan legalitas dan legitimasi 88,2 persen kawasan hutan atau seluas 105,8 juta hektar. KPK merekomendasikan kepada Menhut untuk mencabut Peraturan Menhut No 50/2009 dan SK Menhut No 32/2001.
17 kelemahan
Dalam Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, KPK menemukan 17 kelemahan sistemik dalam pengelolaan hutan, yang rentan dimanfaatkan oleh pembalak liar dan penambang liar. Dari temuan itu, sembilan di antaranya berada pada aspek regulasi, tiga temuan dari aspek kelembagaan, empat temuan dari aspek tata laksana, dan satu temuan dari aspek sumber daya manusia ( lihat boks).
Dari temuan itu, salah satunya yang paling merugikan negara adalah dibiarkannya penambangan tanpa izin dengan status pinjam pakai dalam kawasan hutan. Menurut Jasin, dari temuan di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah saja, potensi kerugian negara yang dihitung mencapai Rp 15,9 triliun per tahun.
”Angka itu di luar kompensasi lahan yang tak diserahkan, biaya reklamasi yang tidak disetorkan, dan denda kerusakan hutan konservasi sebesar Rp 255 miliar,” kata Jasin.
Zulkifli Hasan mengapresiasi hasil kajian KPK itu. Menhut pun mendukung KPK terlibat dalam penegakan hukum di sektor kehutanan. (aik)
Dalam Kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, KPK menemukan ada ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 32 Tahun 2001, dan Peraturan Menhut Nomor 50 Tahun 2009. Situasi itu, kata Jasin, memungkinkan pelaku pembalakan liar dan penambangan liar lolos dari tuntutan hukum.
Temuan lain, kata Jasin, adalah direduksinya asas prosedur yang fair dalam penunjukan kawasan hutan pada aturan pelaksanaan UU No 41/1999 sehingga melemahkan legalitas dan legitimasi 88,2 persen kawasan hutan atau seluas 105,8 juta hektar. KPK merekomendasikan kepada Menhut untuk mencabut Peraturan Menhut No 50/2009 dan SK Menhut No 32/2001.
Dalam Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, KPK menemukan 17 kelemahan sistemik dalam pengelolaan hutan, yang rentan dimanfaatkan oleh pembalak liar dan penambang liar. Dari temuan itu, sembilan di antaranya berada pada aspek regulasi, tiga temuan dari aspek kelembagaan, empat temuan dari aspek tata laksana, dan satu temuan dari aspek sumber daya manusia (
Dari temuan itu, salah satunya yang paling merugikan negara adalah dibiarkannya penambangan tanpa izin dengan status pinjam pakai dalam kawasan hutan. Menurut Jasin, dari temuan di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah saja, potensi kerugian negara yang dihitung mencapai Rp 15,9 triliun per tahun.
”Angka itu di luar kompensasi lahan yang tak diserahkan, biaya reklamasi yang tidak disetorkan, dan denda kerusakan hutan konservasi sebesar Rp 255 miliar,” kata Jasin.
Zulkifli Hasan mengapresiasi hasil kajian KPK itu. Menhut pun mendukung KPK terlibat dalam penegakan hukum di sektor kehutanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar