Selasa, 20 November 2012


Pembalakan Liar dan Pembuktian Terbalik

Oleh Siti Kotijah

Dari beberapa kelemahan  dari UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor  1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang, salah satunya yakni lemahnya pada proses pembuktian, dimana dalam proses pembuktian terhadap tindak pidana pembalakan liar masih mengaju pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana.
Dalam kontek ini dipandang sebagai tindak pidana biasa, sehingga sulit untuk menjerat pelaku yang berada dibelakang kasus pembalakan liar.

Prektek pembalakan liar begitu merugikan keuangan negara dan menimbulkan bencana, di sisi lain pelaku yang ditangkap hanya kelas teri, semacam supir truk, penebang, masyarakat setempat. Sedangkan bila pelaku kelas kakap yang tertangkap yakni cukong kayu atau penyokong dana, hukumannya tidak lebih 1 tahun, bahkan ada yang dibebaskan.

Cukong kayu atau penyokong danalah yang diduga mengoperasikan semua mata rantai bisnis pembalakan liar ini. Dia juga yang melakukan suap kepada oknum penegak hukum dan pengambil kebijakan yang mengeluarkan ijin. Dengan demikian ada pikiran kenapa pelaku seperti cukong kayu atau penyandang dana pembalakan liar dijerat dalam  tindak pidana korupsi.

Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK),  ada unsur delik yang berisi  penyalagunaan wewenang sebagai berikut:

  1. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
  2. meyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukanya;
  3. dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara. 

Pencantuman unsur melawan hukum bersifat formil dan material yang bertujuan untuk memudahkan dalam pembuktian, ternyata dalam praktek penegakan hukum untuk membuktikan ada tidaknya unsur melawan hukum dalam tindak pidana pembalakan liar tidaklah mudah seperti yang diperkirakan. Meski sudah banyak teori dan yurisprudensi tentang ajaran sifat melawan hukum.

Menyadari kelemahan dalam  proses pembuktian tersebut, dari pendapat para yustisiabel timbul pendapat untuk menerapkan “sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewujslast). Yang dimaksud ialah tersangka yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.   

Yang menjadi masalah kemudian, apakah dengan diterapkan sistem pembalikan beban pembuktian, ketentuan undang-undang yang kita anut tetap menganut asas“actus non facit reum nici mens sit rea ”(tidak dipidana tanpa kesalahan).

Menurut Hermin Hadianti Koeswadji asas pembalikan beban pembuktian sangat erat kaitanya dengan tanggungjawab negara moderen terhadap warga negara. Friedmann menghubungkan perkembangan negara moderen ini dengan tanggungjawab negara yang lebih luas, yaitu tanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat (public welfare).  Kerangka pikirnya adalah menunjuk pada perubahan dalam nilai-nilai masyarakat tentang sistem ekonomi yang dianut negaranya, menyebabkam sejumlah perbuatan dinilai sebagai sesuatu yang tercela dan perlu dipidana. Perbuatan ini disebut “economic  crimes” . Dalam hal ini untuk melindungi kepentingan-kepentingan baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam delik-delik di KUHP.

Perlindungan warga masyarakat terhadap perbuatan yang merugikan negara dalam arti luas yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Delik-delik baru yang berkembang di banyak kasus pembalakan liar, dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat akan ketersediaan hutan sebagai sumber kehidupan dan kerugian negara secara ekonomi.

Atas delik-delik semacam ini, sebaiknya tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan actus non facit reum nici mens sit rea  dan diterapkan fait materiel ataustrick liability.

Sudah banyak upaya dan cara yang telah dilakukan baik melalui perundang-undangan maupun kerjasama semua pihak baik pemerintah, penegak hukum dan masyarakat dalam pemberantasan pembalakan liar.

Hal yang positif dan sedang ditunggu hasilnya yakni adanya surat ketua Mahkamah Agung RI kepada semua ketua pengadilan tingkat banding dan pertama dari lingkungan peradilan umum dan militer dengan terbitnya Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Intinya, MA pada akhirnya gerah dengan ulah oknum hakim yang membuat putusan sangat ringan terhadap pelaku pembalakan liar, bahkan dibebaskan.

Dengan adannya surat edaran ini, diingatkan agar hakim  memperhatikan sungguh-sungguh pasal 28, 50, 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, sehingga sanksi yang diberikan dapat memberi efek jera bagi pelaku pembalakan liar. Surat edaran MA ini, dapat dijadikan langkah yang tepat untuk menghukum pelaku ilegal logging yang seberat-beratnya . 
Semoga......

Tentang penulis:
Siti Kotijah SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar