Rentetan bangunan yang gagah itu tak pernah dapat menggeser sungai Citarum. Citarum mengalir diantara serangkaian bangunan pabrik  di bibir sungai yang luasnya dapat mencapai sekian kali lapangan sepak bola, lengkap dengan bangunan-bangunannya yang menjulang. Sebagian besar adalah pabrik tekstil.  Namun jalinan pipa-pipa dari barisan bangunan tersebut telah meracuni badan sungai ini, mengalirkan limbah pabrik dengan kandungan bahan kimia yang mengucur tanpa ampun.

Salah satu jalinan pipa tersebut bermuara pada sebuah kali di tengah-tengah area persawahan di daerah Padalarang, Bandung. Area sawah tersebut memang luas, tetapi di seberangnya telah berdiri dengan kokoh pagar setinggi dua meter, menjadi garis batas bagi pabrik yang berdiri di dalamnya. Lubang yang letaknya terselip di tengah-tengah area sawah itu mengalirkan air yang deras, hangat, berbuih, dan berwarna. Khas limbah cair dari industri. Beberapa saat sebelum volunteer Greenpeace, yang tergabung dalam unit Greenpeace Youth Indonesia mengambil sampel air dari lubang tersebut, air yang mengalir bagai jeram tersebut berwarna merah. Hanya beberapa menit berselang, air yang keluar telah berubah menjadi hitam keabu-abuan. Air tercemar yang mengalir dengan deras tersebut tentu sangat kontras jika dibandingkan hijaunya sawah yang terbentang luas di sekitarnya, lengkap dengan kerbau-kerbau dan lapangan bola yang ramai dengan penduduk sekitar saat sore hari. Dari manakah air keruh  ini mengalir? Mungkinkah pabrik di seberangnya ikut menyumbang air buangan itu?

Air limbah yang dibuang di kali kecil itu akan terus mengalir, menuju area yang lebih rendah. Tercampur dengan air-air yang mungkin juga sama tercemarnya karena berasal dari pipa-pipa pembungan limbah pabrik yang lain, lalu bergabung di Sungai Citarum. Di sepotong aliran sungai Citarum di kawasan Dayeuhkolot, badan sungai telah berwarna hitam kelam dan berbau, tak berbeda dengan selokan yang mampet namun dalam skala  lebih besar! Di atasnya terdapat sebuah eretan (perahu kecil untuk menyeberang yang digerakkan dengan menggunakan tali), yang digunakan untuk menyeberangi sungai Citarum. Sebagian dari para penggunanya adalah karyawan-karyawan pabrik.

Sungai yang menjadi sumber peradaban telah berubah fungsi menjadi muara pembuangan besar-besaran limbah pabrik, merusak sungai itu sendiri dan mereduksi fungsinya yang lain. Tak terbayang lagi pemanfaatan sungai ini untuk mandi atau mencuci, apalagi untuk minum. Jangan hitung pula pemanfaatan untuk wisata, tak ada lagi nilai estetika dari aliran sungai Citarum.Sejak dahulu kala, keberadaan sungai telah terkait dengan kehidupan manusia, khususnya dengan mengambil peran sebagai salah satu sumber penghidupan sekelompok manusia. Fungsi sederhana ini selanjutnya bertumbuh, hingga menjadi tonggak terciptanya peradaban-peradaban manusia. Dalam sejarah, berbilang peradaban yang lahir dari rahim sungai, seperti Peradaban Mesopotamia, India, Cina, dan Mesir dengan berbagai hasil kebudayaannnya yang masih menimbulkan decak kagum hingga saat ini.Sungai Citarum tetap menjadi bagian dari peradaban manusia. Namun, berada di manakah sekarang peranannya? Dari segi lokasi, Sungai Citarum tak pernah berpindah, tetapi pelaku dan segala aktivitasdi sekitarnya telah jauh mengalami perubahan.
Industri-industri tersebut telah menciptakan lapangan pekerjaan, tapi haruskah dibayar dengan ‘menghilangnya’ Sungai Citarum?‘Menghilang’ di sini berarti bahwa Sungai Citarum tetap ada, tapi telah mendekati sia-sia. Tentunya hal ini sangat disayangkan karena sebagian manusia telah menggunakan akal pikirannya untuk mencari keuntungan, tetapi tanpa memikirkan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Kelak jika Sungai Citarum benar-benar ‘menghilang’, orang-orang yang sama sekali terkait dengan industri-industri itu pun akan terkena dampaknya.
Itulah peranan Sungai Citarum saat ini, di tengah peradaban Indonesia yang berbau modernisasi dan industrialisasi, sebagai ‘tempat sampah’. Adalah hak kita untuk mencetuskan pertanyaan, seperti “Siapakah penyumbang limbah ini? Darimanakah pipa-pipa pembuangan itu mengalir ?”
Mari jernihkan kembali Citarum! Salah satunya dengan menggunakan hak kita, Hak Untuk Tahu.