Sebagai contoh dalam masalah hama dan penyakit. Saat ini varietas hama dan penyakit padi juga lebih maju. “Kalau dulu cukup satu botol untuk menghalau hama Sundep, sekarang sudah tiga botol obat anti hama, Sundep-nya masih tetap menyerang”.
Tantangan lain yang dihadapi oleh petani adalah musim. Jika musim kering, sebagian besar petani khawatir sawahnya akan kekeringan, sedangkan jika musim banjir, petani khawatir akan gagal panen karena sawah berpotensi terendam. Udin kini didaulat menjadi ketua kelompok tani Tirta Saluyu. Anggotanya 30 orang. Keuntungan kelompok tani adalah bisa saling bertukar informasi, tolong menolong, termasuk mengatasi masalah hama dan air.
Hama
Solusi sementara bagi para petani menghadapi hama adalah kadang petani sengaja mengeringkan sawahnya, bahkan kadang membakar sawahnya. Tujuannya untuk memutus rantai siklus hama dan penyakit. Hama yang paling banyak dihadapi di Karawang adalah tikus, sundep, penggerek batang dan keong.
Karenanya, kelompok Tirta Saluyu dan petani di daerah Udin memutuskan untuk melakukan tanam serentak dan panen juga dilakukan pada waktu relatif bersamaan.
Belum Menerapkan SRI
Meskipun sudah mendengar dan mencoba menerapkan penanaman padi dengan metode System Rice Intensification (SRI), di kelompok tani Tirta Saluyu, dari 30 anggotanya, baru 8 orang anggota yang menerapkan penanaman padi metode SRI. “SRI memang metode yang sangat baik, tetapi untuk menerapkan SRI organik penuh, kami belum mampu” kata Udin.
Alasannya adalah pertama, lahan sawah yang sudah bertahun-tahun diolah dengan pupuk kimia membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk kembali beradaptasi dengan bahan-bahan organik. Resikonya adalah menurunnya hasil panen atau tidak panen sama sekali selama masa transisi itu.
Alasan kedua, produksi padi dengan metode SRI relatif
mahal. Terutama untuk pengadaan kompos, butuh tenaga kerja lebih banyak
untuk mengolah kompos. Pada akhirnya adalah biaya produksi yang lebih
tinggi. Sebagai ilustrasi, Udin mengatakan 1 hektar sawah membutuhkan
sekitar 4 kuintal pupuk kimia dengan harga Rp 800,000. Sedangkan jika
memakai kompos membutuhkan 10 ton kompos dengan harga sekitar Rp 4 juta.
Meskipun demikian baik Udin, maupun Ata tidak sepenuhnya menutup diri jika suatu hari nanti mereka akan mulai mengadaptasi metode SRI untuk sawahnya. “Kami tahu SRI sangat baik, butuh lebih sedikit air dan hasilnya lebih banyak, namun dengan beberapa kondisi di sawah kami, saat ini kami belum dapat menerapkan sistem ini, karena akan beresiko terhadap panen dan penghidupan kami” Jelas Udin.
Air
Beruntung sawah Udin dan anggota kelompoknya berada di saluran jaringan sekunder irigasi, sehingga untuk masalah air, nyaris tidak mengalami masalah. Menurut Suwondo, Kepala Seksi Telaga Sari PJT2, pemantauan kualitas air di saluran irigasi ini rutin dilakukan.
Teks: Diella Dachlan, Foto: Ng Swan Ti/Dok.Cita-Citarum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar