Senin, 17 Desember 2012

Hama, Penyakit dan Musim : Tantangan Petani

Karawang - Meskipun sudah lebih 30 tahun menjadi petani,  Udin Samsudin, dari desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang mengatakan bahwa petani selalu menghadapi tantangan dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh dalam masalah hama dan penyakit. Saat ini varietas hama dan penyakit padi juga lebih maju. “Kalau dulu cukup satu botol untuk menghalau hama Sundep, sekarang sudah tiga botol obat anti hama, Sundep-nya masih tetap menyerang”.
Tantangan lain yang dihadapi oleh petani adalah musim. Jika musim kering, sebagian besar petani khawatir sawahnya akan kekeringan, sedangkan jika musim banjir, petani khawatir akan gagal panen karena sawah berpotensi terendam. Udin kini didaulat menjadi ketua kelompok tani Tirta Saluyu. Anggotanya 30 orang. Keuntungan kelompok tani adalah bisa saling bertukar informasi, tolong menolong, termasuk mengatasi masalah hama dan air.
Hama
Solusi sementara bagi para petani menghadapi hama adalah kadang petani sengaja mengeringkan sawahnya, bahkan kadang membakar sawahnya. Tujuannya untuk memutus rantai siklus hama dan penyakit. Hama yang paling banyak dihadapi di Karawang adalah tikus, sundep, penggerek batang dan keong.
Menurut Udin petani di Karawang juga harus berkoordinasi untuk masa tanam dan panen.  Lebih cepat menanam daripada sawah tetangganya beresiko akan terserang hama dan penyakit duluan, atau sebaliknya, sawah tetangga yang akan terserang hama dan penyakit.
Karenanya, kelompok Tirta Saluyu dan petani di daerah Udin memutuskan untuk melakukan tanam serentak dan panen juga dilakukan pada waktu relatif bersamaan.
Belum Menerapkan SRI
Meskipun sudah mendengar dan mencoba menerapkan penanaman padi dengan metode System Rice Intensification (SRI), di kelompok tani Tirta Saluyu, dari 30 anggotanya, baru 8 orang anggota yang menerapkan penanaman padi metode SRI. “SRI memang metode yang sangat baik, tetapi untuk menerapkan SRI organik penuh, kami belum mampu” kata Udin.
Alasannya adalah pertama, lahan sawah yang sudah bertahun-tahun diolah dengan pupuk kimia membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk kembali beradaptasi dengan bahan-bahan organik. Resikonya adalah menurunnya hasil panen atau tidak panen sama sekali selama masa transisi itu.
Alasan kedua, produksi padi dengan metode SRI relatif mahal. Terutama untuk pengadaan kompos, butuh tenaga kerja lebih banyak untuk mengolah kompos. Pada akhirnya adalah biaya produksi yang lebih tinggi. Sebagai ilustrasi, Udin mengatakan 1 hektar sawah membutuhkan sekitar 4 kuintal pupuk kimia dengan harga Rp 800,000. Sedangkan jika memakai kompos membutuhkan 10 ton kompos dengan harga sekitar Rp 4 juta.
Alasan ketiga, adalah letak sawahnya. Misalnya sawah Ata, petani Desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang. Sawahnya letaknya jauh lebih rendah daripada saluran irigasi. Dalam metode SRI, sawah tidak boleh diairi terlalu banyak. Sedangkan dalam kasus Ata, sawahnya selalu mendapat kelebihan air dan tidak ada saluran pembuangan air.
Meskipun demikian baik Udin, maupun Ata tidak sepenuhnya menutup diri jika suatu hari nanti mereka akan mulai mengadaptasi metode SRI untuk sawahnya. “Kami tahu SRI sangat baik, butuh lebih sedikit air dan hasilnya lebih banyak, namun dengan beberapa kondisi di sawah kami, saat ini kami belum dapat menerapkan sistem ini, karena akan beresiko terhadap panen dan penghidupan kami” Jelas Udin.
Air
Beruntung sawah Udin dan anggota kelompoknya berada di saluran jaringan sekunder irigasi, sehingga untuk masalah air, nyaris tidak mengalami masalah. Menurut Suwondo, Kepala Seksi Telaga Sari PJT2, pemantauan kualitas air di saluran irigasi ini rutin dilakukan.
Aliran Sungai Citarum setelah keluar dari waduk Jatiluhur dialirkan melalui saluran Tarum Barat dan Tarum Timur dan digunakan untuk pasokan air irigasi. Untuk pembangunan saluran dan pemeliharaannya dilakukan oleh balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Aliran yang melewati sawah Udin dan masyarakat di Telagasari dan Kecamatan Majalaya, misalnya, berasal dari Bendung Rangon. Bendung Rangon ini member pasokan air untuk 24 desa di 5 kecamatan dengan luas total daerah irigasi sekitar 8,843 hektar.
Teks: Diella Dachlan, Foto: Ng Swan Ti/Dok.Cita-Citarum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar