Senin, 31 Desember 2012

DEKLARASI KEMERDEKAAN CITARUM

DEKLARASI KEMERDEKAAN CITARUM
diinisia oleh Yayasan Kita Kita, SAR SAGARA dan SOG RESCUE bertujuan untuk mensinergikan ketiga unsur yg ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan DAS CITARUM saat ini yaitu :
1. NEGARA ( PEMERINTAH )
2. KORPORASI ( PERUSAHAAN )
3. MASYARAKAT

Untuk bahu membahu dengan kapasitas dan status sosialnya masing-masing menyelesaikan permasalahan Citarum tanpa saling menya
lahkan,

NEGARA dg kapasitasnya sebagai pemegang regulasi, harus bersikap tegas dalam menegakan peraturan untuk melindungi Citarum dari kerusakan yg lebih parah dan berperan lebih aktif dalam proses me-recovery ekosistem yg sudah rusak di sepanjang DAS CITARUM, baik dari sisi pengawasan, penganggaran sampai menjaga kelestariannya
ketika Citarum sudah kembali seperti dulu lagi

KORPORASI ; sebagai salah satu penyumbang kerusakan Citarum, untuk memulai memperbaiki sistem pembuangan limbahnya, baik limbah cair maupun padat dan turut serta secara aktif dalam proses me-recovery kondisi Citarum, sampai kondisi Citarum bebas dari polutan dimana mereka yg hari ini masih membuang limbahnya ke sungai tanpa melalui proses tretment terlebih dahulu, mulai memperbaikinya agar Citarum menjadi bersih lagi

MASYARAKAT ; ketika semua telunjuk mengarah ke industri/korporasi untuk kerusakan CItarum, ada hal yg terlupakan bahwa, hasil pengamatan kami di 4 titik jembatan yg menyebrangi sungai Citarum, setiap hari tdk kurang 1,4 ton sampah rumah tangga masuk ke sungai Ciatrum kontribusi dari kebiasaan masyarakat yg terbiasa membuang sampah ke sungai Citarum (hasil pengamatan selama 4 hari di 4 titik jembatan teluk jambe, jembatan galuh mas, jembatan bojong dan jembatan jenebin/pabrik es) ditambah lagi sepanjang bantaran sungai begitu banyak sampai menggunung setiap hari warga membuang dan menumpuk sampah rumah tangga di sepanjang bantaran sungai ciatarum.

Atas dasar hal tersebut diatas maka diawali oleh Yayasan Kita Kita, yg kemudian didukung oleh kawan-kawan dari SAR SAGARA dan SOG Rescue yg sangat peduli tehadap Citarum, kami menggas DEKLARASI KEMERDEKAAN CITARUM, dengan tujuan ketiga unsur tadi berkomitmen, secara bersama-sama tanpa saling menyalahkan untuk bahu membahu memperbaiki kondisi agar kembali menjadi sungai yg bersih, ekosistemnya diperbaiki menjadi baik lagi.

Deklarasi bukan sekedar dibacakan, ditandangani dan setelah itu selsai, justru deklarasi adalah langkah awal, menuju kerja-kerja nyata dilapangan dengan berbagai program bersama, simultan dan saling bersinergi sampai tercapainya tujuan dari DEKLARASI KEMERDEKAAN CITARUM...MERDEKA DARI SAMPAH YG MENGOTORINYA...

Forum Komunikasi DAS CITARUM disingkat menjadi

" Forka DAS Citarum " :
merupakan kelanjutan dari DEKLARASI, untuk melakukan kerja-kerja nyata demi perbaikan kondisi DAS CITARUM kedepan, dimana yg terlibat di dalam wadah ini merupakan gabungan ketiga unsur yg sdh disebutkan td diatas yaitu : NEGARA-KORPORASI-MASYARAKAT,

5 PROGRAM UTAMA DARI FORKA DAS CITARUM KEDEPAN ADALAH :

1. Peningkatan kerjasama dalam pengelolaan, perbaikan, pengawasan DAS CITARUM dg 48 desa yg dilintasi secara langsung oleh DAS Citarum

2. Membentuk Pos Pengawasa bersama di 48 Desa

3. Patroli bersama DAS Citarum

4. Pencerahan, terhadap semua eleman masyarakat yg terkait dg DAS Ciatrum

5. Pemberdayaan

Demikian PRESS RELEASE awal kami untuk acara DEKLARASI KEMERDEKAAN CITARUM

Senin, 24 Desember 2012

AIR


Air

Air adalah salah satu kebutuhan terpenting dari kehidupan. Saat ini air sangat terancam. Saat industri menghasilkan limbah berbahaya yang di buang langsung di sumber-sumber air maka kehidupan manusia dan lingkungan terancam.

Permasalahan Air di Indonesia
Bumi terdiri dari 70% air.  Segala bidang kehidupan manusia sangat membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, Industri, Peternakan dan apapun yang ada di bumi. Sumber-sumber air yang terjaga adalah kunci kehidupan kita. Jumlah limpahan air di Indonesia sangat besar tetapi belum tentu menjamin jumlah ketersedian air bersih.
Limbah industri dan limbah rumah tangga yang tidak terkelola dengan baikmembuat sumber-sumber air tidak dapat di gunakan secara maksimal.
Pencemaran Air yang Berasal dari Limbah Industri
Limbah industri saat ini di luar kendali yang melepaskan bahan kimia berbahaya dan sangat mempengaruhi sumber daya air yang berharga - menyebabkan kerusakan jangka panjang terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Limbah industri dengan kimia berbahaya telah jauh dari kendali keamananan. Industri sering kali membuang bahan kimia berbahaya dari sisa manufaktur proses produksi, Dengan tidak bertanggung jawab atas produk yg sedang mereka gunakan bahan kimia berbahaya langsung dibuang sebagai limbah tanpa ada pengelolaan.
Banyak bahan kimia yang digunakan pada saat barang yang diproduksi memiliki sifat berbahaya intrinsik. Mereka menggunakan dengan sengaja atau tidak sengaja, tetapi kebanyakan bahan kimia tersebut tidak berasal dari bahan alami. Bahan kimia yang berbahaya tidak bisa dikelola dengan teknik yang mudah atau hanya dengan 'end-of-pipe', termasuk pabrik pengolahan air limbah umum. Dan limbah industri ini sangat merugikan dalam  waktu yang sangat panjang dan jauh dari sumber dimana mereka membuangnya. Mereka bisa menempuh jarak yang sangat jauh dan mereka dapat menumpuk di sepanjang rantai makanan, akhirnya akan meracuni suplai makanan kita sendiri.

PLTU Batang dan Anak Muda Indonesia | Greenpeace Indonesia

PLTU Batang dan Anak Muda Indonesia | Greenpeace Indonesia

Jangan Biarkan Bencana Nuklir Fukushima terulang di Indonesia!

  • Jangan Biarkan Bencana Nuklir Fukushima terulang di Indonesia!

    Blog ditulis oleh arie utami - 7 Maret, 2012 di 11:44 komentar


    Lebih dari seratus “Korban Nuklir Fukushima”, lengkap dengan pakaian anti radiasi dan masker pelindung pernapasan berkunjung ke Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Hari Senin 5 Maret Lalu. Mereka datang kesana untuk mengingatkan pemerintah Indonesia agar belajar dari Fukushima, stop promosi PLTN di Indonesia, dan jangan biarkan Bencana Nuklir Fukushima terjadi di Indonesia.
    Ratusan aktivis yang berperan sebagai “Korban Nuklir Fukushima”, datang dari berbagai pusat keramaian di Jakarta, mereka datang dari terminal bus, stasiun kereta api, halte trans Jakrta, supermarket, café, restoran makanan cepat saji, dan lain-lain, mereka  datang dengan membawa pesan yang sama bagi Pemerintah Indonesia dan ASEAN agar Belajar dari Fukushima, dan Stop promosi PLTN di negeri ini.

      Bukti nyata atas bahaya nuklir sudah berulang kali terjadi. Tidak ada keuntungan nyata atas pengunaan PLTN. Bahaya yang mengintai setiap saat tidak menjadikan Indonesia sebuah Negara yang mempunyai kemandirian energi. PLTN bukan jawaban atas kekhawatiran kita akan krisis energi untuk bangsa ini.
    Bulan Maret setahun yang lalu, dunia dikejutkan dengan gempa bumi dasyat yang terjadi di Jepang, gempa bumi dengan skala terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, kekuatannya 9,0 Skala richter, jauh lebih besar dari yang pernah terjadi di Aceh, tahun 2004 lalu. Gempa bumi dahsyat ini memicu Tsunami yang juga tak kalah dasyat dampaknya, ribuan orang tewas, ribuan lainnya dikabarkan hilang, ratusan ribu orang harus tinggal di pengungsian.
    Mantan Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, menyatakan bahwa gempa bumi dan tsunami itu sebagai salah satu petaka terburuk yang dialami Rakyat Jepang sepanjang sejarah panjang bangsa mereka.
    Robert Knoth dan Antoinette de Jong mengunjungi wilayah Fukushima bersama Greenpeace pada musim gugur tahun 2011 untuk menjadi saksi terhadap efek yang ditimbulkan oleh radioaktif berbahaya yang berada di udara yang disebabkan oleh tiga kali bencana nuklir di PLTN Fukushima Daiichi.

    Berbagai kisah pilu dapat kita lihat dari perjalanan yang dilakukan photographer Robert Knoth dan Antoinette de Jong. Mereka mengunjungi wilayah Fukushima bersama Greenpeace pada musim gugur tahun 2011 untuk menjadi saksi terhadap dampak dasyat yang ditimbulkan oleh Bencana Nuklir Fukushima. Tanah yang dulu subur dengan berbagai keindahan dan keramaian kini sunyi sepi tak berpenghuni.  Berubah menjadi tanah petaka,
    Setiap saat, kombinasi yang tak terduga dari kegagalan teknologi, kesalahan manusia atau bencana alam di reaktor manapun di dunia, bisa menyebabkan petaka. Bencana Nuklir Fukushima, sekali lagi membuktikan bahwa  risiko-risiko yang mematikan melekat tak terpisahkan pada PLTN. Indonesia, sebagai negeri yang terletak di cincin api, negeri yang potensi kebencanaannya tak kalah besar dari Jepang, ternyata tidak belajar dari bencana dasyat ini. Para promotor PLTN di negeri ini, justru semakin gencar melakukan promosi dan propaganda untuk membangun PLTN di negeri ini. Fantasi berbahaya ini harus dihentikan.

Kamis, 20 Desember 2012

Apa dan Siapa Yang Meracuni Citarumku?

  • Apa dan Siapa Yang Meracuni Citarumku?

    Blog ditulis oleh Hilda Meutia - 14 September, 2012 di 13:19 1 komentar

    Aliran sungai Citarum di Situs Geologi bersejarah, Curug Jompong atau Air Terjun Jompong, terlihat berwarna hitam pekat dan berbusa saat kami mengunjunginya. Bekerja bersama tim Water Patrol, bergerak dari satu area industri ke area industri lainnya, kami menjadi terbiasa terhadap keadaan air dan sungai yang berbau menyengat dan berwarna. Akan tetapi kita tidak akan pernah bisa terbiasa dengan pemandangan seseorang yang memancing atau mencari ikan di sungai yang berwarna hitam pekat dan berbusa ini.  Sangatlah mengerikan. Apa yang mungkin terlintas di benak mereka, sementara mereka menunggu tangkapannya? Apakah mereka bertanya pada diri mereka sendiri, Apa dan Siapa Yang Meracuni Citarumku? Atau mungkinkah sudah sejak lama mereka melewati masa keingintahuan dan kemarahan itu? dan sekarang menjadi… tidak peduli.
    Hari ini, Greenpeace ingin mengingatkan masyarakat sepanjang Sungai dan masyarakat di manapun, bahwa kita mempunyai Hak Untuk Tahu tentang bahan-bahan kimia beracun dan berbahaya apa saja yang mencemari sumber-sumber air kita. Kami berusaha menggambarkan sebuah ironi dari Curug Jompong yang indah dan bersejarah yang sekarang berubah menjadi tempat pembuangan limbah, dengan memperagakan ‘Piknik Beracun’. Diantara air terjun, air, bebatuan purba dan tebing, Aktivis Greenpeace berusaha menunjukkan apa yang sebuah keluarga akan perlukan bila ingin menikmati liburan atau waktu berkumpul bersama di tempat ini. Keluarga tersebut akan menggunakan baju perlindungan dari bahan beracun dan berbahaya. Tentu hal tersebut bukanlah masa depan yang kita inginkan!
    Apa yang kami lihat dan cium kami uji secara ilmiah. Greenpeace mengambil sampel air dari Curug Jompong dan meminta Universitas Indonesia untuk mengujinya. Satu dari sebelas bahan kimia organik beracun dan berbahaya ditemukan, disamping logam-logam berat lainnya. Kami juga mencari penelitian-penelitian terdahulu oleh ilmuan-ilmuan lainnya yang menyebutkan bahwa beragam logam berat berbahaya mencemari Sungai kita. Walaupun pada beberapa kasus kandungan logam-logam berat ini masih dalam ‘ambang batas yang dapat ditoleransi’ berdasarkan aturan provinsi, Ahmad Ashov Birry, Juru Kampanye Greenpeace, memperingatkan akan bahaya dari sifat akumulasi dan persisten dari bahan kimia tersebut. Satu dari rekan media yang hadir pada aktivitas ‘Piknik Beracun’ membuat komentar yang menarik, “Bagaimana mungkin kondisi seperti ini masih bisa dianggap sebagai sesuatu yang bisa diterima?!”

    T. Bachtiar, Ahli Geografi Indonesia, menjelaskan “Curug Jompong adalah pintu masuk lumpur hasil erosi dari lereng-lereng di Cekungan Bandung, yang lingkungannya semakin kritis, bahkan ke curug ini pula pencemaran dari Cekungan Bandung mengalir”. Lebih jauh lagi, sebuah studi dari Universitas Padjadjaran menyebutkan bahwa 72% potensi pencemaran bahan beracun dan berbahaya dari industri berasal dari industri tekstil. Industri yang memang tumbuh subur di daerah aliran sungai Citarum.
    Ada kesamaan yang kami temui saat kami berpatroli di Citarum. Ingatan orang-orang akan masa-masa kecil mereka tentang Sungai Citarum yang berbeda, yang masih asri. Saat para aktivis Greenpeace selesai melaksanakan ‘Piknik Beracun’, kami terdiam sejenak dan melihat ke sekitar kami, “Tempat ini pasti dulu sangatlah indah!”
    Pada akhirnya satu pertanyaan masih tersisa, apakah si pencari ikan akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan:
    “Apa dan Siapa Yang Mencemari Citarumku?

Masihkah Citarum Layak Untuk Manusia?

  • Masihkah Citarum Layak Untuk Manusia?

    Blog ditulis oleh Norma Etika Futri Alviani - 26 September, 2012 di 16:00 komentar

    Rentetan bangunan yang gagah itu tak pernah dapat menggeser sungai Citarum. Citarum mengalir diantara serangkaian bangunan pabrik  di bibir sungai yang luasnya dapat mencapai sekian kali lapangan sepak bola, lengkap dengan bangunan-bangunannya yang menjulang. Sebagian besar adalah pabrik tekstil.  Namun jalinan pipa-pipa dari barisan bangunan tersebut telah meracuni badan sungai ini, mengalirkan limbah pabrik dengan kandungan bahan kimia yang mengucur tanpa ampun.

    Salah satu jalinan pipa tersebut bermuara pada sebuah kali di tengah-tengah area persawahan di daerah Padalarang, Bandung. Area sawah tersebut memang luas, tetapi di seberangnya telah berdiri dengan kokoh pagar setinggi dua meter, menjadi garis batas bagi pabrik yang berdiri di dalamnya. Lubang yang letaknya terselip di tengah-tengah area sawah itu mengalirkan air yang deras, hangat, berbuih, dan berwarna. Khas limbah cair dari industri. Beberapa saat sebelum volunteer Greenpeace, yang tergabung dalam unit Greenpeace Youth Indonesia mengambil sampel air dari lubang tersebut, air yang mengalir bagai jeram tersebut berwarna merah. Hanya beberapa menit berselang, air yang keluar telah berubah menjadi hitam keabu-abuan. Air tercemar yang mengalir dengan deras tersebut tentu sangat kontras jika dibandingkan hijaunya sawah yang terbentang luas di sekitarnya, lengkap dengan kerbau-kerbau dan lapangan bola yang ramai dengan penduduk sekitar saat sore hari. Dari manakah air keruh  ini mengalir? Mungkinkah pabrik di seberangnya ikut menyumbang air buangan itu?

    Air limbah yang dibuang di kali kecil itu akan terus mengalir, menuju area yang lebih rendah. Tercampur dengan air-air yang mungkin juga sama tercemarnya karena berasal dari pipa-pipa pembungan limbah pabrik yang lain, lalu bergabung di Sungai Citarum. Di sepotong aliran sungai Citarum di kawasan Dayeuhkolot, badan sungai telah berwarna hitam kelam dan berbau, tak berbeda dengan selokan yang mampet namun dalam skala  lebih besar! Di atasnya terdapat sebuah eretan (perahu kecil untuk menyeberang yang digerakkan dengan menggunakan tali), yang digunakan untuk menyeberangi sungai Citarum. Sebagian dari para penggunanya adalah karyawan-karyawan pabrik.

    Sungai yang menjadi sumber peradaban telah berubah fungsi menjadi muara pembuangan besar-besaran limbah pabrik, merusak sungai itu sendiri dan mereduksi fungsinya yang lain. Tak terbayang lagi pemanfaatan sungai ini untuk mandi atau mencuci, apalagi untuk minum. Jangan hitung pula pemanfaatan untuk wisata, tak ada lagi nilai estetika dari aliran sungai Citarum.Sejak dahulu kala, keberadaan sungai telah terkait dengan kehidupan manusia, khususnya dengan mengambil peran sebagai salah satu sumber penghidupan sekelompok manusia. Fungsi sederhana ini selanjutnya bertumbuh, hingga menjadi tonggak terciptanya peradaban-peradaban manusia. Dalam sejarah, berbilang peradaban yang lahir dari rahim sungai, seperti Peradaban Mesopotamia, India, Cina, dan Mesir dengan berbagai hasil kebudayaannnya yang masih menimbulkan decak kagum hingga saat ini.Sungai Citarum tetap menjadi bagian dari peradaban manusia. Namun, berada di manakah sekarang peranannya? Dari segi lokasi, Sungai Citarum tak pernah berpindah, tetapi pelaku dan segala aktivitasdi sekitarnya telah jauh mengalami perubahan.
    Industri-industri tersebut telah menciptakan lapangan pekerjaan, tapi haruskah dibayar dengan ‘menghilangnya’ Sungai Citarum?‘Menghilang’ di sini berarti bahwa Sungai Citarum tetap ada, tapi telah mendekati sia-sia. Tentunya hal ini sangat disayangkan karena sebagian manusia telah menggunakan akal pikirannya untuk mencari keuntungan, tetapi tanpa memikirkan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Kelak jika Sungai Citarum benar-benar ‘menghilang’, orang-orang yang sama sekali terkait dengan industri-industri itu pun akan terkena dampaknya.
    Itulah peranan Sungai Citarum saat ini, di tengah peradaban Indonesia yang berbau modernisasi dan industrialisasi, sebagai ‘tempat sampah’. Adalah hak kita untuk mencetuskan pertanyaan, seperti “Siapakah penyumbang limbah ini? Darimanakah pipa-pipa pembuangan itu mengalir ?”
    Mari jernihkan kembali Citarum! Salah satunya dengan menggunakan hak kita, Hak Untuk Tahu.

Ini Pembuangan Limbah Berbahaya, Penghancur Sungai Kita | Greenpeace Indonesia

Ini Pembuangan Limbah Berbahaya, Penghancur Sungai Kita | Greenpeace Indonesia

Menyinari Borobudur dengan Energi Terbarukan | Greenpeace Indonesia

Menyinari Borobudur dengan Energi Terbarukan | Greenpeace Indonesia

81% Masyarakat Jawa Barat Memilih Citarum Bebas Toksik | Greenpeace Indonesia

81% Masyarakat Jawa Barat Memilih Citarum Bebas Toksik | Greenpeace Indonesia

Citarum Nadiku, Mari Rebut Kembali

Sungai citarum mengalir dari hulunya di Gunung wayang selatan kota Bandung mengalir ke utara dan bermuara di laut jawa. Citarum mengaliri 12 wilayah administrasi kabupaten/kota. Citarum menyuplai air untuk kebutuhan penghidupan 28 Juta masyarakat, Sungai yang merupakan sumber air minum untuk masyarakat di Jakarta, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Bandung. Dengan panjang sekitar 269 km mengaliri areal irigasi untuk pertanian seluas 420.000 hektar. Citarum merupakan sumber dari denyut nadi perekonomian Indonesia sebesar 20% GDP (Gross Domestic Product) dengan hamparan industri yang berada di sepanjang sungai Citarum.
Citarum sungai terpanjang dan terbesar di propinsi Jawa barat. Dan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya. Pemanfaatan sungai Citarum sangat bervariasi dari hulu hingga hilir dari yang memenehui kebutuhan rumah tangga, irigasi, pertanian, peternakan dan Industri. Dengan perkembangan industri di Sepanjang DAS citarum dan tidak terkelolanya limbah industri merupakan salah satu penyebab pencemaran sungai.
Ironisnya, berkebalikan dengan nilai historis dan signifikansi Citarum bagi bangsa Indonesia, saat ini Citarum sedang mengalami krisis. Air yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah).
Kondisi Citarum saat ini merupakan potret parahnya pengelolaan air permukaan di Indonesia. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh 30 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Jawabarat pada tahun 2008 terhadap 35 sungai menunjukkan bahwa pada umumnya status mutu air sudah tercemar berat.
Walaupun Indonesia memiliki sumber air permukaan sebanyak 6% dari seluruh sumber air permukaan dunia, dan 21% dari total sumber air di wilayah Asia Pasifik, namun masalah air bersih menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat di Indonesia. Lebih dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman, dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih –seperti diare, kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia. Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih dan aman.

Masyarakat memiliki hak untuk tahu apa saja yang terkandung di sumber air mereka saat ini. sehingga mereka dapat menghindari penyakit atau memulai langkah hidup sehat dan bersahabat dengan Citarum

Selasa, 18 Desember 2012

Greenpeace Menantang Calon Pemimpin Jabar Untuk Berkomitmen Melindungi Citarum | Greenpeace Indonesia

Greenpeace Menantang Calon Pemimpin Jabar Untuk Berkomitmen Melindungi Citarum | Greenpeace Indonesia

Teman-teman! Zara Berkomitmen untuk Bebas Bahan Beracun

Berita - 29 Nopember, 2012
Zara, retail pakaian terbesar dunia, hari ini mengumumkan sebuah komitmen untuk menuju bebas bahan kimia beracun setelah 8 hari menghadapi tekanan dari publik. Kemenangan ini adalah untuk para pecinta mode, aktivis, blogger, dan jutaan pengguna sosial media. Ini adalah aksi dari kekuatan masyarakat.
Zara, retail pakaian terbesar dunia, hari ini mengumumkan sebuah komitmen untuk menuju bebas bahan kimia beracun setelah 8 hari menghadapi tekanan dari publik. Kemenangan ini adalah untuk para pecinta mode, aktivis, blogger, dan jutaan pengguna sosial media. Ini adalah aksi dari kekuatan masyarakat.
Juru kampanye Greenpeace memulai dialog dengan Zara (sebuah merek milik grup Inditex) pada 2011 mengenai penghilangan pelepasan bahan kimia beracun dan berbahaya dari rantai pasokan dan pakaian mereka. Tapi itu tidak terjadi hingga minggu ini ketika perusahaan mode raksasa itu tertangkap dengan kebutuhan untuk segera membereskan masalah polusi limbah beracun mereka.
Zara telah berkomitmen untuk menghilangkan pembuangan bahan kimia berbahaya dari rantai pasokan mereka dan produk pada 2020. Dan mereka akan menyingkirkan beberapa dari bahan kimia teburuk seperti PFC, lebih cepat. Sebagai pengguna signifikan PFC, komitmen Zara untuk menghilangkan bahan kimia ini pada akhir 2015 adalah sebuah terobosan.
Pengumuman komitmen untuk hari ini meliputi Zara dan tujuh merek lainnya di Inditex Grup: Pull & Bear, Massimo Dutti, Bershka, Stradivarius, Oysho, Zara Home dan Uterqüe.
Komitmen ini adalah berita baik untuk lingkungan, tapi juga sebuah terobosan untuk hak publik untuk tahu apa yang dilepaskan ke dalam saluran air kita. Zara mengatakan pada akhir 2013 setidaknya 100 penyalur mereka di wilayah Selatan Global, (termasuk setidaknya 40 di Cina) akan membukan secara publik data mengenai bahan kimia berbahaya apa saja yang mereka lepaskan ke lingkungan. Data yang dibuka ini mulai dari bahan kimia perbahan kimia, fasilitas perfasilitas, dan tahun pertahun.
Pada hari selasa lalu kami memulai kampanye Detox secara Global Last Tuesday we launched the Detox campaign globally [http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/the-toxic-tale-behind-your-clothing/blog/43044/]  dengan pagelaran busana dan konferensi pers di Bejing, Cina. with a fashion show and press conference in Beijing.
Foto-foto berkaitan dengan kampanye dan komentar mulai bangkit seperti gelombang musim semi di jejaringan sosial beberapa jam setelah rahasia itu terkuak. Halaman Facebook Zara dengan cepat diisi dengan komentar dari fans menyerukan perusahaan untuk Detox. Ribuan orang mulai berbagi keinginan mereka dan "mode tanpa polusi!" Tuntutan Zara untuk Detox di Twitter dan Sina Weibo, situs microblogging terkemuka China.
Kamu bisa melihat disini siapa saja yang mengomentari tentang kampanye ini di Twitter dan Weibo - orang di seluruh dunia berbicara dalam berbagai bahasa dengan jangkauan lebih dari 7.1m pengikut (follower). Di Twitter saja setidaknya ada 43.800 menyebutkan Zara dan kampanye Detox minggu ini. Lebih dari 300.000 orang mendaftar untuk bergabung dengan kampanye untuk Detox Zara [http://www.greenpeace.org/zara], dan puluhan ribu orang diemail dan tweeted langsung ke perusahaan untuk komitmen Detox ambisius.

Lebih dari 700 volunteer di 20 negara bergerak bersama menuju toko Zara di hari sabtu lalu. Di beberapa hari sebelumnya, climbers dan beberapa aktivis mengirimkan pesan Detox di beberapa toko Zara dan kantor pusat mereka di Hong Kong, Budhapest, Jenewa dan Madrid. Foto dan Video detox menjadi trending topik di twitter untuk beberapa hari untuk pencarian seperti "Zara" dan "Fashion".
Komitmen Zara untuk bertindak lebih transparan adalah sebuah batu loncatan dalam bagaiman pakaian diciptakan. Ini adalah langkah penting untuk menyediakn komunitas lokal, jurnalis, dan pihak berwenang, dengan informasi yang dibutkan untuk memastikan persediaan air lokal tidak berubah menjadi selokan untuk industri. Revolusi transparansi Zara akan menjadi kunci penting memastikan ketika sebuah mereka berkomitmen untuk Detoks, akan diikuti oleh pencapaian nol pembuangan pada 2020. Dengan banyaknya bisnis yang terkait dengan greewashing, adalah penting untuk konsumen mengetahui siapa yang bisa mereka percaya.
Zara kini bergabung dengan  Nike, Adidas, Puma, H&M, M&S, C&A and Li-Ning yang juga telah berkomitmen untk Detok, tapi perusahaan pakaian top lainnya masih harus merespon gentingnya situasi ini dan melakukan Detoks. Kami menguji jenis pakaian dari 20 merek ternama [http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/toxics/water/detox/toxic-threads/] tahun ini dan menemukan bahan kimia berbahaya dalam produk mereka yang membentuk polusi bahan beracun pada lingkungan. Tapi dengan bekerja dengan penyalur dan beralih kepada altenatif yang tidak berbahaya, perusahan pakaian dapat menjadi bagian dari solusi.
Naiknya gelombang kekuatan publik telah menunjukkan apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk membuat perubahan. Tapi sayangnya pembuangan bahan kimia beracun dari pabrik tekstil dan pakaian terus berlanjut, dan sementara Zara sebagai ikan yang besar telah terjaring, perusahaan lainnya harus mengetahui hal ini dan segera beraksi berdasarkan gentingnya kebutuhan situasi sebelum pekerjaan lain kami dimulai.
Pecinta mode, aktivis, blogger, penggiat lingkungan, dan selebriti, akan kembali untuk lebih banyak lagi merek pakaian yang perlu diperingatkan.

Rebut Kembali Citarum!

Sebuah Pesan Penting Untuk Calon Pemimpin Jawa Barat.
Pada tanggal 28 November 2012 Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia bersama WALHI Jawa Barat meluncurkan laporan bertajuk : ‘Bahan Beracun Lepas Kendali’. Dalam laporan ini terungkap fakta tentang pembuangan bahan kimia berbahaya di 8 titik area industri sepanjang Sungai Citarum.  Bahan-bahan kimia berbahaya yang bersifat persisten, tidak dapat terdegradasi di lingkungan yang berhasil dideteksi di titik-titik temuan antara lain adalah : kromium heksavalen, kadmium, merkuri, alkylphenol (BHT) dan berbagai turunan phthalate.
Temuan bahan kimia berbahaya di Sungai Citarum tentunya menjadi perhatian semua pihak. Apalagi fakta menyatakan 80% suplai air masyarakat Jakarta berasal dari sungai tersebut. Beberapa aksi telah dilakukan Greenpeace dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran yang terjadi di Citarum, antara lain dengan pemutaran film Pelangi di Citarum yang diselenggarakan di PVJ Bandung tanggal 4 Desember. Aksi dan laporan yang diluncurkan Greenpeace bersama WALHI Jawa Barat  adalah pesan terbuka yang juga disampaikan secara khusus bagi pemerintah dan industri.
  Namun setelah 3 minggu Greenpeace mengungkapkan fakta kontaminasi yang terjadi di Sungai Citarum  serta menyerukan kepada calon pemimpin Jawa Barat untuk berkomitmen mengatasi pencemaran di Citarum, Greenpeace dan masyarakat belum juga melihat ataupun mendengar komitmen dari para Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Melanjutkan aksinya, bertepatan dengan hari penentuan nomor urut pemilihan calon pemimpin Jawa Barat, puluhan aktivis Greenpeace melakukan aksi damai di depan simbol Kegubernuran Jawa Barat, Gedung Sate, untuk secara lantang menyampaikan kepada Calon-Calon Pemimpin Jawa Barat bahwa 81% masyarakat menginginkan sungai bebas toksik. Seruan ini adalah sebuah urgensi agar para calon pemimpin berkomitmen melindungi Sungai Citarum dan sungai-sungai lain di Jawa Barat dari bahan kimia berbahaya.

Sebanyak 30 aktifis Greenpeace memasang poster berukuran 12x1.5 meter yang menggambarkan kondisi terkini Sungai Citarum sambil mengilustrasikan pipa pembuangan yang masih terus membuang bahan kimia berbahaya. Beberapa aktifis juga berperan sebagai calon tetap Gubernur Jawa Barat yang bersikap ‘tutup mata’, ‘tutup telinga’ dan ‘tutup mulut’ terhadap pencemaran bahan kimia berbahaya di tengah rentangan banner bertuliskan : “SIAPAKAH YANG AKAN BERKOMITMEN UNTUK SUNGAI BEBAS TOKSIK?”
“Aksi damai kali ini bertujuan memberikan tekanan kepada calon pemimpin Jabar bahwa aksi ‘tutup mata’, ‘tutup telinga’ dan ‘tutup mulut’ terhadap pencemaran bahan berbahaya industri akan berakibat kerugian dan hanya akan meninggalkan warisan berupa sumber-sumber air yang tercemar bagi generasi mendatang.” pernyataan Ahmad Ashov, Juru Kampanye Air Bebas Racun Greenpeace.

Senin, 17 Desember 2012

Pak Djajadi: Tidak Kenal Pensiun untuk Lingkungan

Bencana membawa hikmah. Peristiwa jebolnya tempat pembuangan akhir Leuwigajah tahun 2006 benar-benar menggugah H.Djajadi (67 tahun) warga dan ketua RW 4 Kelurahan Manjalega, Kecamatan Rancasari.
Peristiwa jebolnya TPA yang melahirkan julukan baru bagi kota Bandung, yaitu “Bandung Lautan Sampah” karena tumpukan sampah yang tak terangkut dan semakin lama semakin menimbun terjadi di berbagai penjuru kota. Di lingkungannya, Pak Djajadi mengingat proses pembusukan sampah membuat ribuan belatung-belatung ikut merajalela hingga masuk ke dalam rumah-rumah warga.
Ketika bencana lingkungan terjadi hingga menelan korban jiwa, di saat itu baru kita sebagai manusia “dipaksa” berhenti sejenak dan mulai berpikir untuk menjaga lingkungannya. Pak Djajadi tak terkecuali. Dalam ruang lingkupnya yang kecil, beliau tidak lantas merasa cukup dengan merenung dan berpikir.
Pak Djajadi sejak tahun 1968 tahun bekerja di bidang pengairan di PSDA Propinsi Jawa Barat dan menempati berbagai macam posisi, dari bagian umum, perlengkapan hingga menjadi kepala bagian Tata Usaha. Setelah 32 tahun mengabdi, tahun 2000 Pak Djajadi resmi pensiun. Sejak masa pensiun, waktu dan perhatiannya tercurah sepenuhnya kepada lingkungan.
“Setelah pensiun, saya jadi punya lebih banyak waktu untuk lingkungan saya, dan saya merasa harus melakukan sesuatu, setidaknya mulai dari saya dulu”. Kata Pak Djajadi. Pemikiran pertama beliau adalah bagaimana caranya mengurangi sampah, mulai dari tingkatan terkecil, yaitu RT atau RW.
Dengan swadaya Himpunan Warga Lansia (HIWALA) bersama warga RW 4, mereka beramai-ramai berpatungan membeli mesin pengolah sampah. Untuk sementara, sampah itu dikumpukan dan dibakar. Hal itu merupakan inisiatif di masa darurat untuk menangani masalah sampah. Namun tentu saja pembakaran sampah bukan solusi bijak untuk penyelesaian jangka panjang, karena malah menimbukan masalah lingkungan baru yaitu polusi udara.
Bank Sampah, Tanaman kantong kresek dan Taman Lansia
Tahun 2008, Pak Djajadi didaulat warganya menjadi ketua RW4.  Mengajak warga untuk aktif dalam menjaga lingkungan, terutama masalah sampah, bukanlah hal yang mudah. Umumnya yang mudah ditemui Pak Djajadi adalah respon penolakan dan menyalahkan. “Banyak warga yang merasa sudah membayar kebersihan dan menyalahkan petugas atau dinas kebersihan”, cerita Pak Djajadi.  Pak Djajadi tidak mudah menyerah. Beliau lantas mengerahkan istrinya, H.Triningsih dan ibu-ibu PKK lainnya. Bukan hanya dukungan moral, ibu-ibu pun ikut terlibat aktif membantu.
Bantuan lain yang tak kalah besarnya adalah ketika program Bandung Green and Clean ikut mengajak serta RW-4 dalam program mereka.  Salah satu programnya yang paling dirasa bermanfaat oleh pak Djajadi adalah program pengelolaan sampah di lingkungan RW, yang mendorong kreatifitas yang dapat juga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Keterangan foto: Taman lansia yang digunakan oleh semua usia


Keterangan foto: tanaman sayuran seperti cabai ditanam dengan pupuk kompos hasil sampah warga
Program Bandung Green and Clean adalah program bersama yang digagas oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah Kota Bandung – Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandung, pihak Pengusaha yaitu Unilever, Koran Pikiran Rakyat, media audio Radio RaseFM dan Lembaga Penerapan Teknologi Tepat (LPTT). 
Sampah bukan hanya dikumpulkan, melainkan juga dipilah menurut jenisnya, dibuat kompos atau bahan kerajinan tangan seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK di RW4 yang mengubah limbah menjadi tas, hingga rompi dan topi. Ide lain adalah menggunakan plastik bekas atau kantong kresek sebagai media tanam sayuran seperti cabai, tomat, terong, teh rosella dan lain sebagainya. Sebutan tanaman yang digantung di bamboo dan menggunakan cor beton dibawahnya ini adalah TABULASEK atau Tanaman Bumbu dalam Kresek.
Warga RW4 pun berinisiatif menggunakan bangunan tak terpakai yang masih dalam proses sengketa perdata sebagai tempat pengumpulan sampah atau yang mereka namakan sebagai “Bank Sampah”.
“Biasanya sampah diambil 20 hari sekali untuk dijual, namun warga bebas untuk menyetor” sampah kapan saja untuk dikumpulkan disini. Sekali menjual biasanya mendapat Rp 100 –Rp 120 ribu, yang dibelikan alat-alat kebersihan untuk warga.” Jelas Pak Djajadi.
Inisiatif lain yang dilakukan Pak Djajadi adalah memanfaatkan ruang terbuka dan beliau mendesain serta mengerjakan sendiri taman yang disebut taman lansia.   Taman itu meskipun bertajuk untuk para lanjut usia, namun penggunaannya tidak terbatas pada yang berusia lanjut saja. Anak-anak TK atau SD juga sering memanfaatkan ruang terbuka itu untuk bermain dan belajar melihat pemilahan sampah dan pembuatan kompos, juga warga sekitarnya.
Dengan kehijauan, keasrian dan keguyuban dalam masalah pengelolaan sampah dan lingkungan, tidak heran jika pada tahun 2010, RW4 masuk ke dalam nominasi RW terbaik se-kota Bandung versi Bandung Green and Clean.
Sungai Bukan Tempat Sampah

Keterangan foto: kiri, saluran asal. Kanan, saluran yang telah diperbaiki
Pak Djajadi tidak akan berhenti hingga di sini. Cita-cita beliau yang lain adalah terus menularkan semangat cinta lingkungan bagi mereka yang ingin dan rela “tertular”. Salah satu yang menjadi keperihatinan beliau adalah masalah sungai yang sering dijadikan tempat sampah.
Melintasi wilayahnya adalah Sungai Cidurian, salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Citarum, yang mengalir melalui kota Bandung, yang saat ini kondisi airnya hitam pekat dan badan sungainya dipenuhi oleh sampah.
Ada 7 RT di dalam administrasi RW 4 yang diketuai oleh Pak Djajadi. Seluruh RT tersebut sebagian besar persis berada pada bantaran Sungai Cidurian, sekitar 2 kilometer kearah hilir,dengan kepadatan sekitar 1,500 jiwa.
“Bayangkan kalau sungai ini Bersih dan kita bisa memancing dari sungai ini, lalu di bantaran sungai itu ada jogging track dan tanaman obat atau tanaman hias, alangkah indahnya lingkungan kita ini” Pak Djajadi berbagi impiannya.
Dengan kecintaan dan semangatnya untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan dan sesama,  tampaknya Pak Djajadi belum akan “pensiun” sebagai penggerak dan penyebar “virus cinta lingkungan”. “Jangan hanya frustrasi, kesal dan menyalahkan. Kita bisa segera mulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar, Insya Allah, akan ada perubahan ke arah yang lebih baik”, pesan Pak Djajadi.
Jika berminat untuk singgah, Anda dapat mengunjungi Taman Lansia, Kerajinan daur ulang sampah serta tanaman bumbu dalam kresek (Tabulasek) Jl Taman Merkuri III/I RT02/RW4, Metro Margahayu, Bandung Timur.
(Teks dan foto: Diella Dachlan)

Hama, Penyakit dan Musim : Tantangan Petani

Karawang - Meskipun sudah lebih 30 tahun menjadi petani,  Udin Samsudin, dari desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang mengatakan bahwa petani selalu menghadapi tantangan dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh dalam masalah hama dan penyakit. Saat ini varietas hama dan penyakit padi juga lebih maju. “Kalau dulu cukup satu botol untuk menghalau hama Sundep, sekarang sudah tiga botol obat anti hama, Sundep-nya masih tetap menyerang”.
Tantangan lain yang dihadapi oleh petani adalah musim. Jika musim kering, sebagian besar petani khawatir sawahnya akan kekeringan, sedangkan jika musim banjir, petani khawatir akan gagal panen karena sawah berpotensi terendam. Udin kini didaulat menjadi ketua kelompok tani Tirta Saluyu. Anggotanya 30 orang. Keuntungan kelompok tani adalah bisa saling bertukar informasi, tolong menolong, termasuk mengatasi masalah hama dan air.
Hama
Solusi sementara bagi para petani menghadapi hama adalah kadang petani sengaja mengeringkan sawahnya, bahkan kadang membakar sawahnya. Tujuannya untuk memutus rantai siklus hama dan penyakit. Hama yang paling banyak dihadapi di Karawang adalah tikus, sundep, penggerek batang dan keong.
Menurut Udin petani di Karawang juga harus berkoordinasi untuk masa tanam dan panen.  Lebih cepat menanam daripada sawah tetangganya beresiko akan terserang hama dan penyakit duluan, atau sebaliknya, sawah tetangga yang akan terserang hama dan penyakit.
Karenanya, kelompok Tirta Saluyu dan petani di daerah Udin memutuskan untuk melakukan tanam serentak dan panen juga dilakukan pada waktu relatif bersamaan.
Belum Menerapkan SRI
Meskipun sudah mendengar dan mencoba menerapkan penanaman padi dengan metode System Rice Intensification (SRI), di kelompok tani Tirta Saluyu, dari 30 anggotanya, baru 8 orang anggota yang menerapkan penanaman padi metode SRI. “SRI memang metode yang sangat baik, tetapi untuk menerapkan SRI organik penuh, kami belum mampu” kata Udin.
Alasannya adalah pertama, lahan sawah yang sudah bertahun-tahun diolah dengan pupuk kimia membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk kembali beradaptasi dengan bahan-bahan organik. Resikonya adalah menurunnya hasil panen atau tidak panen sama sekali selama masa transisi itu.
Alasan kedua, produksi padi dengan metode SRI relatif mahal. Terutama untuk pengadaan kompos, butuh tenaga kerja lebih banyak untuk mengolah kompos. Pada akhirnya adalah biaya produksi yang lebih tinggi. Sebagai ilustrasi, Udin mengatakan 1 hektar sawah membutuhkan sekitar 4 kuintal pupuk kimia dengan harga Rp 800,000. Sedangkan jika memakai kompos membutuhkan 10 ton kompos dengan harga sekitar Rp 4 juta.
Alasan ketiga, adalah letak sawahnya. Misalnya sawah Ata, petani Desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang. Sawahnya letaknya jauh lebih rendah daripada saluran irigasi. Dalam metode SRI, sawah tidak boleh diairi terlalu banyak. Sedangkan dalam kasus Ata, sawahnya selalu mendapat kelebihan air dan tidak ada saluran pembuangan air.
Meskipun demikian baik Udin, maupun Ata tidak sepenuhnya menutup diri jika suatu hari nanti mereka akan mulai mengadaptasi metode SRI untuk sawahnya. “Kami tahu SRI sangat baik, butuh lebih sedikit air dan hasilnya lebih banyak, namun dengan beberapa kondisi di sawah kami, saat ini kami belum dapat menerapkan sistem ini, karena akan beresiko terhadap panen dan penghidupan kami” Jelas Udin.
Air
Beruntung sawah Udin dan anggota kelompoknya berada di saluran jaringan sekunder irigasi, sehingga untuk masalah air, nyaris tidak mengalami masalah. Menurut Suwondo, Kepala Seksi Telaga Sari PJT2, pemantauan kualitas air di saluran irigasi ini rutin dilakukan.
Aliran Sungai Citarum setelah keluar dari waduk Jatiluhur dialirkan melalui saluran Tarum Barat dan Tarum Timur dan digunakan untuk pasokan air irigasi. Untuk pembangunan saluran dan pemeliharaannya dilakukan oleh balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Aliran yang melewati sawah Udin dan masyarakat di Telagasari dan Kecamatan Majalaya, misalnya, berasal dari Bendung Rangon. Bendung Rangon ini member pasokan air untuk 24 desa di 5 kecamatan dengan luas total daerah irigasi sekitar 8,843 hektar.
Teks: Diella Dachlan, Foto: Ng Swan Ti/Dok.Cita-Citarum

Greepeace Temukan Lagi Limbah Berbahaya Tak Bertuan di Citarum

Padalarang, GATRAnews - Aktivis Greenpeace Indonesia menemukan lagi sebuah saluran pembuangan limbah industri tak bertuan di daerah Padalarang, Jawa Barat, Selasa (11/12). Di atas saluran pembuangan limbah terdapat sebuah plang bertuliskan "Limbah Berbahaya Keluar dari Sini". Limbah tersebut jelas mencemari aliran Sungai Citarum. Hingga saat ini, para aktivis belum menemukan siapa pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah berbahaya. "Kami mendesak pemerintah Indonesia segera beraksi untuk menghentikan pencemaran bahan berbahaya industri ke Sungai Citarum dan sungai-sungai lainya di Indonesia," tutur Ahmad Ashov Birry, Jurukampanye Air Bebas Racun Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan persnya yang diterima GATRAnews, Rabu (12/12).
Pada kawasan pencemaran limbah, aktivis Greenpeace menemukan bahan-bahan berbahaya seperti Kromium heksavalen, Merkuri dan juga beberapa senyawa kimia organik seperti phthalate yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat mengganggu sistem reproduksi.
Untuk menarik perhatian masyarakat agar waspada, aktivis juga membentangkan sebuah banner bertuliskan “Pilih Sungai Bebas Toksik”. Spanduk itu juga ditujukan kepada para calon pemimpin Jawa Barat untuk berkomitmen melindungi Sungai Citarum dan sungai-sungai lainnya di Jawa Barat dari pencemaran bahan kimia berbahaya industri. Tak hanya itu, para aktivis juga menandai area pembuangan tersebut sebagai ‘Crime Scene’ dan juga mengilustrasikan beberapa bahan kimia berbahaya yang ditemukan disana seperti yang telah disebutkan pada laporan “Bahan Beracun Lepas Kendali” yang diluncurkan pada tanggal 28 November 2012 yang lalu yang dipublikasikan oleh Greenpeace dan Walhi Jabar. (Nhi)