Jumat, 05 April 2013

ANGSANA

Angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan). Kayunya keras, kemerah-merahan, dan cukup berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood.[2]
Di pelbagai daerah, angsana dikenal dengan nama-nama yang mirip: asan (Aceh); sena, sona, hasona (Batak); asana, sana, langsano, lansano (Min.); angsana, babaksana (Btw.); sana kembang (Jw., Md.). Namun juga, nara (Bima, Seram), nar, na, ai na (Tim.), nala (Seram, Haruku), lana (Buru), lala, lalan (Amb.), ligua (Ternate, Tidore, Halm.), linggua (Maluku) dan lain-lain.[3]
Sebutan di negara-negara yang lain, di antaranya: apalit (Filipina), pradu (Thailand), chan dĂȘng (Laos), padauk, sena, ansanah (Burma), Malay padauk, red sandalwood, amboyna (bahasa Inggris), serta santal rouge, amboine (bahasa Perancis).[2]

Daftar isi

Pengenalan

Pohon angsana
Pohon, yang kadang-kadang menjadi raksasa rimba, tinggi hingga 40m dan gemang mencapai 350cm.[2] Batang sering beralur atau berbonggol; biasanya dengan akar papan (banir). Tajuk lebat serupa kubah, dengan cabang-cabang yang merunduk hingga dekat tanah. Pepagan (kulit kayu) abu-abu kecoklatan, memecah atau serupa sisik halus, mengeluarkan getah bening kemerahan apabila dilukai.[4]
Daun majemuk menyirip gasal, panjang 12-30 cm. Anak daun 5-13, berseling pada poros daun, bundar telur hingga agak jorong, 6-10 × 4-5 cm, dengan pangkal bundar dan ujung meruncing, hijau terang, gundul, dan tipis.[4]
Buah angsana
Bunga-bunga berkumpul dalam malai di ketiak, 9-15 cm panjangnya. Bunga berkelamin ganda, berwarna kuning dan berbau harum semerbak, berbilangan-5. Kelopak serupa lonceng, berdiameter 6mm, dua taju teratas lebih besar dan kadang-kadang menyatu. Mahkota lepas-lepas, berkuku, bendera bundar telur terbalik atau seperti sudip. Benang sari 10 helai, yang teratas lepas atau bersatu.[4]
Buah polong bundar pipih, dikelilingi sayap tipis seperti kertas, lk. 6cm diameternya, tidak memecah ketika masak. Biji 1-4 butir.[4] Polong akan masak dalam waktu 4-6 bulan, berwarna kecoklatan ketika mengering. Bagian tengah polong gundul pada forma indicus dan berbulu sikat pada forma echinatus (Pers.) Rojo. Ada pula bentuk-bentuk antaranya.[5]

Ekologi dan persebaran

Lukisan menurut Blanco
Tak seperti anggota marga Pterocarpus yang lain, yang menyukai wilayah ugahari, angsana menyukai lingkungan hutan hujan tropika. Secara alami, pohon ini ditemukan mulai dari Burma bagian selatan, melewati Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara hingga ke Pasifik barat, termasuk di Cina selatan, Kep. Ryukyu, dan Kep. Solomon.[6]
Di Jawa, pada masa lalu banyak ditemukan tumbuh tersebar di hutan-hutan hingga ketinggian 500m dpl., terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Kalimantan didapati tumbuh liar di rawa-rawa pantai, di sepanjang aliran sungai pasang surut. Buahnya yang tua dan mengering, disebarkan oleh angin, aliran air dan arus laut.[4]
Angsana biasa ditanam orang untuk berbagai keperluan. Pohon ini mudah diperbanyak dengan biji maupun dengan stek cabang dan rantingnya. Kini angsana juga telah menyebar luas hingga ke Afrika, India, Srilanka, Taiwan, Okinawa, Hawaii dan Amerika Tengah.[2]

Pemanfaatan

Angsana yang ditanam untuk pagar hidup
Kuat dan awet, serta tahan cuaca, kayu sonokembang (narra) dapat digunakan dalam konstruksi ringan maupun berat. Dalam bentuk balok, kasau, papan dan panil kayu yang lain untuk rangka bangunan, penutup dinding, tiang, pilar, jembatan, bantalan rel kereta api, kayu-kayu penyangga, untuk konstruksi perairan bahari dan lain-lain.[2]
Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan kayu sonokembang sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik, lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, serta untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga mahal. Sifat kembang susutnya yang rendah setelah kering, menjadikan kayu ini cocok untuk pembuatan alat-alat yang membutuhkan ketelitian.[2]
Batang yang terserang penyakit sehingga berkenjal (monggol) menghasilkan kayu yang kuat dan bermotif bagus, yang terkenal sebagai “amboyna”.[2] Istilah ini berasal dari nama tempat Ambon, yang pada masa silam banyak mengeluarkan kayu termaksud yang diperdagangkan sebagai linggua, kayu buku atau kayu akar (Bld.: wortelhout). Namun sebenarnya kayu berpenyakit ini, yang serupa dengan kayu gembol pada pohon jati, terutama dihasilkan oleh wilayah timur Pulau Seram.[3]
Getah yang keluar dari pepagan akan mengental dan berwarna merah gelap, yang disebut kino atau sangre de drago (darah naga), dan memiliki daya obat (astringensia). Secara tradisional, pepagan pohon ini biasa direbus dan airnya digunakan untuk menghentikan murus (diare) atau sebagai obat kumur untuk menyembuhkan sariawan, dan juga untuk mengobati migren.[7] Air rendaman daun-daunnya digunakan untuk keramas agar rambut tumbuh lebih baik; sementara daun mudanya yang dilayukan digunakan untuk mempercepat masaknya bisul.[3] Kino dan ekstrak daun angsana juga dilaporkan memiliki khasiat untuk mengendalikan tumor dan kanker. [8] Ekstrak getah batang angsana dapat pula dijadikan penyembuhan untuk keracunan. Efek tumbuhan ini mirip dengan tumbuhan gambir, tapi jarang diketahui.[7]
Angsana juga sering ditanam sebagai pagar hidup dan pohon pelindung di sepanjang tepi kebun wanatani. Perakarannya yang baik dan dapat mengikat nitrogen, mampu membantu memperbaiki kesuburan tanah. Karena tajuknya yang rindang, angsana kemudian juga populer sebagai tanaman peneduh dan penghias tepi jalan di perkotaan, khususnya di Asia Tenggara.[2] Akan tetapi pohon-pohon angsana yang ditanam di tepi jalan, kebanyakan berasal dari stek batang yang berakar dangkal, sehingga mudah tumbang. Lagipula, pohon-pohon peneduh yang sering mengalami pemangkasan akan menumbuhkan cabang-cabang baru (trubusan) yang rapuh dan mudah patah; dengan demikian perlu berhati-hati bila menanamnya di daerah yang banyak berangin.

Sifat-sifat kayu

Venir kayu sonokembang dengan pola khasnya
Kayu narra (Pterocarpus spp.) termasuk kayu keras hingga keras-sedang, berat-sedang, liat dan lenting. Berat jenisnya sekitar 0.55-0.94 pada kadar air 15%. Kayu terasnya tahan lama, termasuk dalam penggunaan yang berhubungan dengan tanah, dan tahan terhadap serangan rayap; namun sukar dimasuki bahan pengawet.[2]
Kayu teras narra berwarna kekuning-kuningan coklat muda hingga kemerah-merahan coklat, dengan coreng-coreng berwarna lebih gelap. Kayu gubal jelas terbedakan, berwarna kuning jerami pucat hingga kelabu cerah. Tekstur kayu berkisar antara halus-sedang hingga kasar-sedang, dengan urat kayu yang bertautan atau bergelombang. Kayu ini berbau harum dan mengandung santalin, suatu komponen kristalin merah yang menyusun bahan warna utama[2]
Pada umumnya kayu narra mudah dikerjakan dan tidak merusak gigi gergaji. Sifat kayu ini sangat baik untuk dibubut dan dipahat; cukup baik untuk diampelas, dipelitur dan direkat. Tergolong baik untuk dipaku dan disekrup, namun papan narra yang tipis agak mudah pecah apabila dipaku.[2]

Perdagangan dan konservasi

Pada masa silam, kayu sonokembang merupakan salah satu kayu yang digemari penduduk Indonesia, baik karena kualitas kayunya, keindahan motifnya, maupun karena ukurannya yang besar.[3] Karena telah hampir punah di alam, kini Indonesia praktis tidak lagi menghasilkan kayu ini dalam aras yang berarti secara ekonomi.
Nasib yang hampir serupa juga dialami oleh Filipina, Papua Nugini dan Thailand; tiga negara produsen utama kayu sonokembang. Berjaya mengekspor kayu narra hingga 3 juta kg di tahun 1985, produksi kayu ini terus menurun di Filipina sehingga pada dua tahun berikutnya tinggal 0,4 juta kg yang bisa diekspor. Di Papua Nugini, karena mahal nilainya, ekspor kayu ini dilarang terkecuali setelah diolah. Sementara Thailand pada tahun 1990 telah memerlukan tambahan pasokan kayu ini dari Burma dan beberapa negara di Indocina, agar ekspor kayu narra gergajian yang dilakukannya bisa tetap berlangsung. Eksploitasi yang tinggi, yang tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi tegakan di alam, diduga menjadi salah satu penyebab utama penyusutan populasi angsana di alam. Sebab yang lain ialah hilangnya habitat alami angsana oleh karena perladangan. Bahkan pohon ini diduga telah habis di habitat alaminya di Semenanjung Malaya.[2]
Mengingat tekanan yang tinggi atas populasinya di alam, sejak 1998 Badan Konservasi Dunia IUCN telah memasukkan Pterocarpus indicus ke dalam kategori Rentan (VU, vulnerable).[9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar